Minggu, 02 Maret 2014

Opini Agung Budi R



Topeng Manis Caleg didepan Publik
Mendekati perhelatan politik 2014, ruang publik kembali ramai dihiasi hingar bingar atribut aktor politik yang siap bersaing merebut jatah kursi kehormatan. Persaingan itu terbaca ketika atribut politik mulai tersebar di jalan-jalan utama bahkan sampai ke lorong-lorong rumah warga.
Mereka bahkan tidak canggung melakukan konsolidasi sampai ke daerah-daerah terpencil. Ruang tatap muka di-setting sedemikian rupa agar terkesan ramah dan merakyat.
Hasilnya, di berbagai media sosial terpampang potret caleg yang dikelilingi  rakyatnya, tersirat sosok ketokohan yang sungguh merakyat.
Lebih menarik lagi  kalau kita membidik pencitraan caleg dari sudut media sosial. Group dan fun pages di facebook ramai diisi iklan politik dengan berseliwuran janji dan komitmen caleg.
Misalnya group mendukung orang ini dan itulengkap dengan gagasan dan komitmen kerjanya.
Hemat aku cah asli  Mblora, fenomena ini menjadi sangat wajar sebab untuk mencapai kuota suara, membutuhkan sosialisasi sesering mungkin biar elektabilitasnya melangit.
Perubahan pola kampanye ini akhirnya memaksa caleg yang sebelumnya gaptek media sosial, menjadi sering nimbrung bahkan ‘sakau’ dengan facebook dan twitter.
Dari sebelumnya jarang ke salon, sekarang lebih narsis dengan gaya dan mode baru yang telah diformat sedemikian rupa biar terkesan ganteng dan cantik.
Dari sebelumnya duduk dalam ruang bersofa dan  ber-AC, sekarang terpaksa mengangkat kaki, menembus angin dan menantang hujan. Yang sebelumnya jarang senyum, sekarang dibalik kaca mobil yang dibuka lebar atau saat berjalan, terpampang sesimpul senyum manis nan menggoda alias ‘senyum caleg’.
Inilah topeng yang harus mereka perankan dengan senyum manis didepan publik
Hasilnya, di dunia maya dan media massa, foto-foto laki-laki berjas, berkumis, berjanggut, berkerudung, berambut lurus, ramai menghiasi jalan-jalan bahkan di kancah facebook, dikirim di dinding sahabat, teman jauh, keluarga hingga tetangga, juga lengkap dengan permintaan dukungan dan doa restu.
Memang sangat berbeda dari hari-hari biasa di saat ada sebagian dari mereka tiba-tiba ramah dan murah senyum seperti terpampang di foto-foto baliho dan dunia maya tadi. Di jalan-jalan juga mereka senyum dan menegur semua orang dengan ramah. Mereka yang bermobil menurunkan kaca serendah mungkin, lalu melempar senyum selebar-lebarnya.
“Pasar Senyum”
Aneh rasanya ketika tiba-tiba menjelang hajatan politik, ruang publik kita ramai berseliwuran pameran senyum para caleg.
Saya membayangkan ruang publik sekarang ibarat pasar senyum sehingga pemilik senyum juga haruslah yang terbaik biar laku. Senyum adalah kemerdekaan, sebuah produk alami yang dapat dijual tanpa memiliki modal. Pertanyaan selanjutnya pun akhirnya nimbrung dalam jagat pikiran saya. Ada apa dengan senyum sehingga menjadi keharusan bagi seorang caleg?
Pada dasarnya, senyum merupakan suatu bentuk ekspresi jiwa yang lugu dengan kepolosan jiwa. Senyum itu merintis tawaran, senyum itu menggalang perasaan, senyum itu membangun ikatan.
Senyum itu juga bisa menyulap sebagai cahaya yang dapat mencairkan kembali gairah hidup yang nyaris beku.
Misteri senyuman juga pernah meramaikan perhatian publik seperti misteri senyuman Monalisa karya Leonardo da Vinci atau senyuman misterius ala Soeharto yang sukar ditebak.
Kilasan  ini sebenarnya mau menggambarkan betapa senyuman bisa dapat bermakna positif ketika senyum sebagai jendela jiwa dan bermakna negatif ketika direkayasa alias senyum palsu. Bisa jadi karena alasan yang sama pula Khalil Gibran menegaskan senyuman dalam goresan penanya,
 “ seulas senyum menjadi sebuah tanda kebahagiaan dalam kewujudan. Aku merasa lebih baik jika aku mati dalam hasrat dan kerinduan dari pada aku hidup menjemukan dan putus asa”.
Dari pojok ilmu komunikasi, senyum merupakan suatu bentuk komunikasi nonverbal yang berisi pesan dan disebarkan secara langsung maupun lewat perantara (channel) serta ditujukan kepada target (audiens).
Komunikasi nonverbal memiliki maksud dan tujuan yakni mempengaruhi konsep dan aksi dari audiensnya. Maka, menilai senyuman caleg juga tidak terlepas dari maksud dan tujuan yang ingin dicapainya.
Sebagai simbol, senyum dapat diartikan bermacam-macam karena maknanya bukan terletak pada senyum tersebut tetapi dalam konsep penerima senyum. Jika salah meramu senyuman maka maknanya bisa kabur dari yang diharapkan.
Untuk mengulas makna senyuman yang multitafsir dalam berbagai latar sudut pandang, tidak cukup untuk diringkas semuanya dalam tulisan ini. Yang jelas, kekuatan senyum ini dipakai sebagai senjata ampuh untuk meraup suara.
Namun ada suatu paradoks yang dikemukakan Gibran dalam puisinya yang berjudul ‘seulas senyum dan setetes air mata’.
Karena sastra bersifat multiinterpreted, maka tidak ada salahnya jika paradoks dalam kutipan di atas disandingkan dengan fenomena menjamurnya senyum caleg sekarang ini ditengah ratapan kedukaan rakyat.
Hemat  saya, di tahun politik ini kehadiran fisik caleg dengan mengumbar senyuman di tengah rakyat harus menjadi simbol keberpihakan kebijakan yang pro-rakyat bukan hanya mencari sensasi dan pencitraan.
Jangan sampai senyum itu hanya sebatas kamuflase politik untuk absentnya aktor politik dalam  persoalan rakyat. Rakyat lebih membutuhkan seorang elit yang cerdas meramu kebijakan populis ketimbang berpose ria di atas kesengsaraan rakyat sembari melemparkan janji berbisa.
Makna
Fenomena caleg yang mengumbar senyum baik secara langsung maupun lewat atribut kampanye dan media massa pun  menjadi urgent dibongkar. Jangan sampai massa rakyat tertipu dalam buaian senyum maut ala caleg-caleg ini.
Harus diakui bahwa senyum caleg adalah senyum harapan. Setiap calon legislatif entah kaya maupun miskin secara finansial pasti punya ambisi besar agar bisa mendapatkan jatah kursi kehormatan.
Orientasinya bisa karena idealisme membangun atau menambah tumpukan modal sebanyak-banyaknya (mumpungisme).
Harapan itu tertuang jelas dalam setiap senyuman yang terpampang dari raut muka seorang caleg. Ekspresi harapan itu dituangkan dalam bentuk senyum ketika bertemu dengan konstituen di dapilnya. Bias dari senyum harapan itu bisa berupa kekayaan, prestise, jabatan dan kekuasaan.
Selain itu, senyum spekulasi. Seorang caleg bisa saja mengumbar senyuman dengan maksud mengira-ngira, apakah audiensnya memaknai secara positif atau negatif yang penting senyum dulu.
Senyum jenis ini biasanya dilakoni oleh caleg bermasalah. Seorang caleg bermasalah tentunya punya ketakutan  jangan sampai masalahnya sudah diketahui publik. Jika belum diketahui maka feedbacknya positif, tetapi jika sudah diketahui maka bisa saja audiensnya membalas senyuman tetapi dalam hati ingatanya tertuju pada masalah caleg tersebut.
Akibatnya, audiens tidak memilih caleg tersebut. Untuk konteks ini, senyum caleg justru menjadi kontraproduktif dan senyum itu menjadi tidak tulus alias senyum ragu-ragu.
Ada juga senyum tipikal lips service dan narsis. Tipikal dari senyuman ini sebenarnya lebih vulgar sarat kepentingan. Dalam pendekatan political marketing, seorang caleg dikemas secara baik biar laku dipasaran pemilih.
Di sini berlaku hukum pencitraan biar derajatnya melejit dan mencuat. Senyuman ini memang sengaja di-design agar menarik perhatian biar akhirnya terpilih.
Tidak heran dalam masyarakat kita sering menentukan pilihannya dari penampilan aktris politik di panggung maupun lewat poster dan baliho. Kegantengan dan kecantikan memiliki magnet tersendiri dalam pilihan politik.  Untuk konteks ini, senyuman caleg tidak lebih dari jasa layanan publik yang siap dipasarkan.
Tulisan ini akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa dalam dunia politik, senyuman menjadi modal utama agar mendapat kesan baik di mata pemilih.
Senyum politik dan politik senyum menjadi dua simpul yang tidak dipisahkan. Pemilih sering kali terkecoh oleh sensasi politik senyum karena hanya mampu melihat ‘yang terlihat’ dalam gambar maupun nyata.
Fenomena ini juga menggambarkan kegagalan masyarakat dalam menilai realitas sekaligus penegasan bahwa realitas buatan  sudah mengalakan realitas sesungguhnya (hiperrealitas).
Kita lebih mempercayai sesuatu yang dibuat-buat dalam trik periklanan dibanding melihat realitas dunia politik dengan aktornya yang terjerumus dalam lubang hitam kenikmatan politik namun absen dalam membangun masyarakat.
Topeng senyum caleg sekiranya dapat menjadi senyum inspirasi dan harapan baru di tengah situasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga DPR sekarang ini. 
Topeng-topeng Caleg dengan senyum politik yang sekarang bertebaran di berbagai ruang publik, harus disertai dengan usaha dan komitmen menuju bonum commune sebagai cita-cita mulia politik itu sendiri.#

Tidak ada komentar: