Jumat, 21 Oktober 2011

OPINI - ANDY NK



Mengenang Sumpah Pemuda

Kita Hanya Ingat 'Syair' tapi Lupa 'Kuncinya'

Ada lima elemen penting yang menjadi dasar lahirnya Sumpah Pemuda, yakni 1) kemauan , 2) sejarah, 3) bahasa, 4) hukum adat, 5) pendidikan dan kepanduan.

Kemauan menunjuk pada tekad dan pilihan sikap pemuda untuk bersatu padu. Kemauan ini lahir dari sejarah ‘perbudakan’ dan penindasan serta penjajahan bangsa asing.

Dari pelajaran yang aku dapatkan sejak SMP sampai sekarang ini di SMA N 1 Surakarta, saat itu Para pemuda bertekad untuk mewujudkan Indonesia yang satu: bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu.

Para pemuda menyadari sungguh kultur perbedaan, namun tidak menampiknya sebagai sesuatu yang asing apalagi timpang.

Keragaman bahasa daerah, keragaman kebiasaan dan adat istiadat, suku bangsa dan warna kulit akhirnya terkristal dalam ‘satu bangsa’. Perbedaan dilihat sebagai tiang-tiang kekuatan, penopang dan khasanah budaya bangsa. Patriotisme dan nasionalisme mengental ketika itu dan sumpah itu pun dikumandangkan:

SOEMPAH PEMOEDA

Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA

Kedua :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA

Ketiga :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA

Djakarta, 28 Oktober 1928

Pertanyaan kita sekarang dan selanjutnya adalah masihkah (dan akankah) sumpah itu bertuah? Adakah jejak tertinggal dalam keseharian pemuda dan pemudi Indonesia? Ataukah jangan-jangan, sumpah itu tak lagi ampuh, dan yang tertinggal adalah kenangan akan masa lalu.

Bahwa kita pernah punya 71 pemuda dan pemudi yang mewakili keragaman Indonesia mengikrarkan Soempah Pemoeda pada 28 Oktober 1928.

Jangan-jangan kita hanya mengenang peristiwa itu sebagai sekedar kenangan bahwa pernah ada sumpah itu di rumah seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong di jalan Kramat Raya.

Sedikit fakta coba penulis paparkan: tawuran antar sekolah. Kerusuhan antar etnis seperti yang terjadi antara pemuda Flores-NTT dan Ambon di jalan Ampera pada 29 September 2010, yang akhirnya menyebabkan tiga orang meninggal dunia dan lima lainnya luka-luka. Konflik atas nama agama seperti yang terjadi di Bekasi pada 13 September 2010.

Fakta-fakta kecil ini tidak hanya mengindikasikan perihal hilangnya kultur persatuan, persaudaraan, rasa kebangsaan dan nasionalisme yang menjadi karakter dan jati diri bangsa, tetapi juga merupakan pengabaian atas nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

Terlepas dari kultur politik yang tidak kondusif, birokrasi yang pragmatis dan korupsi yang merajalela, serta ketiadaan kepastian hukum.

Sebenarnya bangsa ini sedang mengalami sakit akut yang disebut sebagai disorientasi akan wawasan keindonesiaan. Itu kata guruku saat member pelajaran PKN-ku

Kita rupa-rupanya tidak menyadari bahwa kita adalah sebuah bangsa yang bernama Indonesia yang terdiri atas keberagaman kultur, bahasa dan suku.

Kita terjebak dalam kultur, agama dan suku masing-masing. Manahbiskan suku, kultur dan agama masig-masing sebagai yang paling baik dan benar.

Lantas mengabaikan keberagaman sebagai kelengkapan fundamental cara berada kita sebagai bangsa dan sebagai makhluk sosial. Inilah kecemasan penulis. Sebuah kecemasan yang mungkin tidak berdasar, dan terlalu rapuh untuk dipertanggungjawabkan secara logis.

Tetapi inilah fakta. Kecemasan ini bukan lahir tanpa latar. Semuanya bermula dari situasi riil dalam komunitas kehidupan kita sebagai bangsa.

Catatan kecil ini hanya refleksiku sebagai seorang pelajar atas kenangan dan peristiwa itu yang seakan-akan tidak berjejak dalam keseharian pemuda dan pemudi Indonesia.

‘Sumpah Pemuda, Masihkah Kau Ampuh?”

Satu hal yang terpenting dari catatan ini adalah supaya kita memaknai setiap peristiwa sebagai sesuatu yang bermakna. Sumpah Pemuda adalah sebuah memoria penuh makna.

Pemaknaan atas peristiwa tersebut bukan pada perayaannya, tetapi lebih pada praksis sikap dan kelakukan dan juga semangatnya.

Lantas selanjutnya kita akan dengan rutin mengumandangkan ‘sumpah pemuda’ sebagai sekedar syair hampa, ‘sumpah palsu’ tanpa kunci dan ritme apalagi memaknainya secara baru dan berulang.

(Ditulis oleh: Andy Novendra Kharisma – Siswa Kl 10 SMAN 1 Surakarta –Sekolah Ranking 6 Nasional)