Kamis, 11 September 2014

Andy Tentukan Pilihanmu UGM atau STAN

Anak pertamaku Andy Novendra Kharisma,
Diterima di UGM melalui jalur Akademik Tanpa test SNMPTN.
Setelah kuliah di UGM selama 1 Bulan, 
ada pengumuman STAN dia juga diterima.
Tentukan Pilihanmu Anakku - Masa depanmu ada ditangamu.
UGM atau STAN  ......??



Sabtu, 06 September 2014

Dikampus UGM

Saat Andy Novendra Kharisma di terima sebagai mahasiswa Baru UGM th 2014 
tanpa Tes/ jalur SNMPTN - dr SMAN 1 Surakarta

Sabtu, 08 Maret 2014

Cerita Rakyat Jawa Tengah Indonesia



LEGENDA CANDI PRAMBANAN
RORO JONGGRANG

(Cerita dari Jawa Tengah)

Dahulu kala ada seorang raja bernama Prabu Boko yang memerintah di Prambanan. Prabu Boko adalah seorang raksasa yang sakti. Ia mempunyai seorang puteri yang bernama Roro Jonggrang. Roro Jonggrang sangat cantik.

 Berbatasan dengan kerajaan Boko ada sebuah kerajaan bernama Pengging. Pada suatu hari raja Pengging ingin memperluas wilayah kerajaannya, maka ia mengutus puteranya, Bandung Bondowoso memimpin pasukan menyerang kerajaan Prambanan. Bandung Bondowoso berhasil mengalahkan pasukan Boko bahkan membunuh raja Boko.

 Bandung Bondowoso pun tinggal di istana Prambanan. Ia jatuh cinta kepada Roro Jonggrang dan meminta gadis itu menjadi permaisurinya. Roro Jonggrang tidak ingin menjadi isteri Bandung Bondowoso yang telah membunuh ayahandanya. Ia mencari akal agar dapat menolak pinangan pangeran Pengging itu dengan halus.

 Akhirnya ia menemui Bandung Bondowoso dan berkata, “Aku mau menjadi isterimu, tetapi sebagai syaratnya engkau harus membuat dua buah sumur dan seribu candi dalam waktu semalam.”
 Meskipun syarat yang diajukan Roro Jonggrang mustahil dipenuhi orang lain, Bandung Bondowoso langsung menyanggupinya. Ia mengumpulkan makhluk-makhluk halus yang menjadi anak buahnya dan mulai menggali sumur dan membangun candi.

 Bandung Bondowoso dan anak buahnya bekerja dengan sangat cepat. Dalam waktu singkat mereka sudah menyelesaikan sebuah sumur dan ratusan candi.

 Roro Jonggrang mengamati dari kejauhan dengan cemas. Ia berpikir keras untuk menemukan cara menggagalkan usaha Bandung Bondowoso. Roro Jonggrang pun memanggil dayang-dayang dan menyuruh mereka membakar jerami dan menabuh lesung.

 Api dari jerami yang dibakar membuat suasana menjadi terang dan suara tabuhan lesung yang gaduh mengejutkan makhluk-makhluk halus yang sedang bekerja. Mereka mengira hari telah pagi. Mereka pun melarikan diri, meninggalkan Bandung Bondowoso serta sumur dan candi yang belum selesai.

 Bandung Bondowoso berusaha memanggil mereka kembali, tetapi mereka tetap meninggalkannya.

Roro Jonggrang menemui Bandung Bondowoso dan bertanya, “Waktumu sudah habis, Bandung. Apakah candiku sudah selesai?”

Bandung Bondowoso sangat marah karena ia tahu Roro Jonggrang telah menggagalkan kerja kerasnya, namun ia berusaha menahan diri, “Tentu saja candi sudah selesai. Kalau tak percaya, silakan kau hitung sendiri.” Roro Jonggrang ditemani dayang-dayangnya menghitung candi satu persatu. Ternyata Bandung Bondowoso telah berhasil menyelesaikan sembilan ratus sembilan puluh sembilan candi.

“Kau gagal, Bandung. Masih kurang satu candi lagi,” kata Roro Jonggrang.

Bandung Bondowoso naik darah, “Kalau kau tidak berbuat curang, aku pasti bisa menyelesaikan seribu candi untukmu, Jonggrang,” katanya.

“Baiklah, aku penuhi keinginanmu. Jadilah kau, Roro Jonggrang, candi yang keseribu!” kutuk Bandung Bondowoso

Maka Roro Jonggrang pun menjelma menjadi patung batu yang sangat cantik dan ajaib, batu-batu tersusun satu demi satu dengan sendirinya membentuk candi,  mengelilingi patung itu.

Sampai sekarang patung batu Roro Jonggrang yang cantik dapat kita saksikan di dalam ruangan candi utama di Prambanan.
=Jelita Bayuliana Kharisma=

Minggu, 02 Maret 2014

Opini Agung Budi R



Topeng Manis Caleg didepan Publik
Mendekati perhelatan politik 2014, ruang publik kembali ramai dihiasi hingar bingar atribut aktor politik yang siap bersaing merebut jatah kursi kehormatan. Persaingan itu terbaca ketika atribut politik mulai tersebar di jalan-jalan utama bahkan sampai ke lorong-lorong rumah warga.
Mereka bahkan tidak canggung melakukan konsolidasi sampai ke daerah-daerah terpencil. Ruang tatap muka di-setting sedemikian rupa agar terkesan ramah dan merakyat.
Hasilnya, di berbagai media sosial terpampang potret caleg yang dikelilingi  rakyatnya, tersirat sosok ketokohan yang sungguh merakyat.
Lebih menarik lagi  kalau kita membidik pencitraan caleg dari sudut media sosial. Group dan fun pages di facebook ramai diisi iklan politik dengan berseliwuran janji dan komitmen caleg.
Misalnya group mendukung orang ini dan itulengkap dengan gagasan dan komitmen kerjanya.
Hemat aku cah asli  Mblora, fenomena ini menjadi sangat wajar sebab untuk mencapai kuota suara, membutuhkan sosialisasi sesering mungkin biar elektabilitasnya melangit.
Perubahan pola kampanye ini akhirnya memaksa caleg yang sebelumnya gaptek media sosial, menjadi sering nimbrung bahkan ‘sakau’ dengan facebook dan twitter.
Dari sebelumnya jarang ke salon, sekarang lebih narsis dengan gaya dan mode baru yang telah diformat sedemikian rupa biar terkesan ganteng dan cantik.
Dari sebelumnya duduk dalam ruang bersofa dan  ber-AC, sekarang terpaksa mengangkat kaki, menembus angin dan menantang hujan. Yang sebelumnya jarang senyum, sekarang dibalik kaca mobil yang dibuka lebar atau saat berjalan, terpampang sesimpul senyum manis nan menggoda alias ‘senyum caleg’.
Inilah topeng yang harus mereka perankan dengan senyum manis didepan publik
Hasilnya, di dunia maya dan media massa, foto-foto laki-laki berjas, berkumis, berjanggut, berkerudung, berambut lurus, ramai menghiasi jalan-jalan bahkan di kancah facebook, dikirim di dinding sahabat, teman jauh, keluarga hingga tetangga, juga lengkap dengan permintaan dukungan dan doa restu.
Memang sangat berbeda dari hari-hari biasa di saat ada sebagian dari mereka tiba-tiba ramah dan murah senyum seperti terpampang di foto-foto baliho dan dunia maya tadi. Di jalan-jalan juga mereka senyum dan menegur semua orang dengan ramah. Mereka yang bermobil menurunkan kaca serendah mungkin, lalu melempar senyum selebar-lebarnya.
“Pasar Senyum”
Aneh rasanya ketika tiba-tiba menjelang hajatan politik, ruang publik kita ramai berseliwuran pameran senyum para caleg.
Saya membayangkan ruang publik sekarang ibarat pasar senyum sehingga pemilik senyum juga haruslah yang terbaik biar laku. Senyum adalah kemerdekaan, sebuah produk alami yang dapat dijual tanpa memiliki modal. Pertanyaan selanjutnya pun akhirnya nimbrung dalam jagat pikiran saya. Ada apa dengan senyum sehingga menjadi keharusan bagi seorang caleg?
Pada dasarnya, senyum merupakan suatu bentuk ekspresi jiwa yang lugu dengan kepolosan jiwa. Senyum itu merintis tawaran, senyum itu menggalang perasaan, senyum itu membangun ikatan.
Senyum itu juga bisa menyulap sebagai cahaya yang dapat mencairkan kembali gairah hidup yang nyaris beku.
Misteri senyuman juga pernah meramaikan perhatian publik seperti misteri senyuman Monalisa karya Leonardo da Vinci atau senyuman misterius ala Soeharto yang sukar ditebak.
Kilasan  ini sebenarnya mau menggambarkan betapa senyuman bisa dapat bermakna positif ketika senyum sebagai jendela jiwa dan bermakna negatif ketika direkayasa alias senyum palsu. Bisa jadi karena alasan yang sama pula Khalil Gibran menegaskan senyuman dalam goresan penanya,
 “ seulas senyum menjadi sebuah tanda kebahagiaan dalam kewujudan. Aku merasa lebih baik jika aku mati dalam hasrat dan kerinduan dari pada aku hidup menjemukan dan putus asa”.
Dari pojok ilmu komunikasi, senyum merupakan suatu bentuk komunikasi nonverbal yang berisi pesan dan disebarkan secara langsung maupun lewat perantara (channel) serta ditujukan kepada target (audiens).
Komunikasi nonverbal memiliki maksud dan tujuan yakni mempengaruhi konsep dan aksi dari audiensnya. Maka, menilai senyuman caleg juga tidak terlepas dari maksud dan tujuan yang ingin dicapainya.
Sebagai simbol, senyum dapat diartikan bermacam-macam karena maknanya bukan terletak pada senyum tersebut tetapi dalam konsep penerima senyum. Jika salah meramu senyuman maka maknanya bisa kabur dari yang diharapkan.
Untuk mengulas makna senyuman yang multitafsir dalam berbagai latar sudut pandang, tidak cukup untuk diringkas semuanya dalam tulisan ini. Yang jelas, kekuatan senyum ini dipakai sebagai senjata ampuh untuk meraup suara.
Namun ada suatu paradoks yang dikemukakan Gibran dalam puisinya yang berjudul ‘seulas senyum dan setetes air mata’.
Karena sastra bersifat multiinterpreted, maka tidak ada salahnya jika paradoks dalam kutipan di atas disandingkan dengan fenomena menjamurnya senyum caleg sekarang ini ditengah ratapan kedukaan rakyat.
Hemat  saya, di tahun politik ini kehadiran fisik caleg dengan mengumbar senyuman di tengah rakyat harus menjadi simbol keberpihakan kebijakan yang pro-rakyat bukan hanya mencari sensasi dan pencitraan.
Jangan sampai senyum itu hanya sebatas kamuflase politik untuk absentnya aktor politik dalam  persoalan rakyat. Rakyat lebih membutuhkan seorang elit yang cerdas meramu kebijakan populis ketimbang berpose ria di atas kesengsaraan rakyat sembari melemparkan janji berbisa.
Makna
Fenomena caleg yang mengumbar senyum baik secara langsung maupun lewat atribut kampanye dan media massa pun  menjadi urgent dibongkar. Jangan sampai massa rakyat tertipu dalam buaian senyum maut ala caleg-caleg ini.
Harus diakui bahwa senyum caleg adalah senyum harapan. Setiap calon legislatif entah kaya maupun miskin secara finansial pasti punya ambisi besar agar bisa mendapatkan jatah kursi kehormatan.
Orientasinya bisa karena idealisme membangun atau menambah tumpukan modal sebanyak-banyaknya (mumpungisme).
Harapan itu tertuang jelas dalam setiap senyuman yang terpampang dari raut muka seorang caleg. Ekspresi harapan itu dituangkan dalam bentuk senyum ketika bertemu dengan konstituen di dapilnya. Bias dari senyum harapan itu bisa berupa kekayaan, prestise, jabatan dan kekuasaan.
Selain itu, senyum spekulasi. Seorang caleg bisa saja mengumbar senyuman dengan maksud mengira-ngira, apakah audiensnya memaknai secara positif atau negatif yang penting senyum dulu.
Senyum jenis ini biasanya dilakoni oleh caleg bermasalah. Seorang caleg bermasalah tentunya punya ketakutan  jangan sampai masalahnya sudah diketahui publik. Jika belum diketahui maka feedbacknya positif, tetapi jika sudah diketahui maka bisa saja audiensnya membalas senyuman tetapi dalam hati ingatanya tertuju pada masalah caleg tersebut.
Akibatnya, audiens tidak memilih caleg tersebut. Untuk konteks ini, senyum caleg justru menjadi kontraproduktif dan senyum itu menjadi tidak tulus alias senyum ragu-ragu.
Ada juga senyum tipikal lips service dan narsis. Tipikal dari senyuman ini sebenarnya lebih vulgar sarat kepentingan. Dalam pendekatan political marketing, seorang caleg dikemas secara baik biar laku dipasaran pemilih.
Di sini berlaku hukum pencitraan biar derajatnya melejit dan mencuat. Senyuman ini memang sengaja di-design agar menarik perhatian biar akhirnya terpilih.
Tidak heran dalam masyarakat kita sering menentukan pilihannya dari penampilan aktris politik di panggung maupun lewat poster dan baliho. Kegantengan dan kecantikan memiliki magnet tersendiri dalam pilihan politik.  Untuk konteks ini, senyuman caleg tidak lebih dari jasa layanan publik yang siap dipasarkan.
Tulisan ini akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa dalam dunia politik, senyuman menjadi modal utama agar mendapat kesan baik di mata pemilih.
Senyum politik dan politik senyum menjadi dua simpul yang tidak dipisahkan. Pemilih sering kali terkecoh oleh sensasi politik senyum karena hanya mampu melihat ‘yang terlihat’ dalam gambar maupun nyata.
Fenomena ini juga menggambarkan kegagalan masyarakat dalam menilai realitas sekaligus penegasan bahwa realitas buatan  sudah mengalakan realitas sesungguhnya (hiperrealitas).
Kita lebih mempercayai sesuatu yang dibuat-buat dalam trik periklanan dibanding melihat realitas dunia politik dengan aktornya yang terjerumus dalam lubang hitam kenikmatan politik namun absen dalam membangun masyarakat.
Topeng senyum caleg sekiranya dapat menjadi senyum inspirasi dan harapan baru di tengah situasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga DPR sekarang ini. 
Topeng-topeng Caleg dengan senyum politik yang sekarang bertebaran di berbagai ruang publik, harus disertai dengan usaha dan komitmen menuju bonum commune sebagai cita-cita mulia politik itu sendiri.#

Sabtu, 15 Februari 2014

Cerita Rakyat - DEWI PADI



Dewi Sri Sang Dewi Padi
Pada suatu zaman, tersebutlah sebuah taman indah nan damai yaitu “Taman Sorga Loka”. Ditempat tersebut berdiam seseorang yang bernama “Sunan Ibu” yang sedang menunggu kehadiran “Dewi Sri Pohaci Long Kancana”. Dewi Sri melaporkan bahwa di di suatu tempat di muka bumi yang bernama “Buana Panca Tengah” belum terdapat “Cihaya” berupa sesuatu kebutuhan hidup umat manusia. Mendengar hal tersebut, Sunan Ibu memerintahkan agar Dewi Sri berangkat ke Buana Panca Tengah.
Dewi Sri tidaklah berkeberatan untuk berangkat ke Buana Panca Tengah asalkan kepergiannya ditemani “Eyang Prabu Guruminda”. Permohonan Dewi Sri pun dikabulkan oleh Sunan Ibu.Sebelum berangkat meninggalkan Sorga Loka, Eyang Prabu Guruminda duduk bersemedi memohon petunjuk Hiang Dewanata. Setelah selesai semedi dan memperoleh petunjuk, dengan kesaktiannya yang hanya dalam waktu sekejap, wujud Dewi Sri berubah bentuk menjadi sebuah telur.

Setelah semua persiapannya selesai, maka berangkatlah Eyang Guruminda mengiring Dewi Sri dengan tujuan Negara Buana Panca Tengah. Dewi Sri yang berwujud sebagai telur, disimpan dalam sebuah kotak bernama “Cupu Gilang Kencana”. Prabu Guruminda setelah beberapa lama terbang ke setiap penjuru utara-selatan-barat-timur yang pada akhirnya pada suatu ketika Cupu Gilang Kencana terbuka dan “telur” di dalamnya pun terjatuhlah.
Sudah menjadi kehendak yang maha kuasa, telur tersebut jatuh di suatu tempat yang mana tempat itu dihuni oleh “Dewa Anta”. Dewa Anta yang mengetahui di tempat bersemayamnya ada telur, maka telur itu pun dipelihara nya. Setelah beberapa waktu lamanya, telur tersebut menetas dan lahirlah seorang putri yang sangat cantik yang tiada lain adalah Dewi Sri.
Dalam kedewasaannya dengan paras yang sangat cantik, maka tersiar berita ke seluruh negri akan kecantikan dan sang putri, dan berdatanganlah raja-raja kerajaan dengan maksud akan meminangnya sang putri untuk dijadikan permaisuri.
Dewi Sri memperoleh pinangan dari para raja, tetapi Dewi Sri tidak merasa senang karena bila ia menerima pinangan berarti ia telah mengingkari tugas dibebankan kepadanya. Kepada setiap raja pun telah dijelaskan bahwa maksud kelahirannya itu bukan semata-mata untuk mencari bakal suami, namun untuk melaksanakan tugas dari Sunan Ibu di Taman Sorga Loka yaitu untuk menganugerahkan “CIHAYA” kepada negara gelar Buana Panca Tengah.
Namun, walaupun penjelasan telah disampaikan, pinangan terus-menerus berdatangan dan oleh karenanya pada akhirnya Dewi Sri menderita tekanan bathin dan jatuh sakit. Semakin lama, sakit yang di derita Dewi Sri semakin parah dan tibalah suatu saat Sang Putri menyampaikan amanat terakhir “Bila tiba saat aku meninggal dan bila kelak aku sudah disemayamkan, akan terdapat suatu keanehan-keanehan pada pusaraku”. Dan akhirnya dengan kehendak yang Maha Kuasa, Dewi Sri pun meninggal dunia.
Benarlah apa yang diamanatkan oleh Sang putri akhirnya menjadi kenyataan. Dikisahkan pada suatu hari, ada kakek-nenek yang sedang mencari kayu bakar dan sekedar mencari bahan makanan untuk bekal hidupnya berdua.
Suatu ketika kakek dan nenek mendapatkan sebuah pusara yang telah ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan yang belum pernah ditemui dan dilihatnya selama ini. Pada bagian kepala tumbuh pohon kelapa, pada bagian tangan tumbuh pohon buah-buahan, pada bagian kaki tumbuh pohon ubi, sedangkan pada bagian tubuhnya tumbuh pohon aren (enau=gula) dan suatu tumbuhan yang sangat aneh dan belum pernah selama ini kakek dan nenek menemukannya, dan baru kali ini melihatnya. Adalah serangkai tumbuhan berdaunan bagus berbuah masih hijau berbulu bagus pula.
Maka muncul niat kakek-nenek untuk memelihara tumbuhan aneh tersebut dan dibersihkannya pusara dan sekitar tumbuhan tersebut. Demikian dari hari ke hari minggu ke minggu dengan penuh kesabaran dan ketekunan tumbuhan itu dipeliharanya. Tak terasa waktu berjalan terus hingga menjelang bulan ke 5, buah yang hijau tadi telah penuh berisi, sehingga buah yang setangkai itu merunduk karena beratnya. Dengan penuh kesabaran dan keyakinan lagi pula ingin mengetahui sampai di mana dan apa sebenarnya tumbuhan yang aneh itu. Setelah beberapa lama menjelang bulan ke 6 ditengoknya kembali tumbuhan tersebut dan ternyata butir-butir buah tadi berubah menjadi menguning dan sangat indah nampaknya.
Setelah keduanya termenung maka timbullah niat untuk memetiknya. Sebelum dipetik buah tadi dicicip terlebih dahulu dan ternyata isinya putih dan terasa manis. Kakek dan nenek menyiapkan dupa beserta apinya untuk membakar kemenyan untuk memohon izin kepada “Hiang Widi”. Selesai upacara membakar kemenyan, ditebaslah tumbuhan yang dimaksud dan alangkah terkejutnya kakek dan nenek itu karena pada tangkai yang dipotong tadi mengeluarkan cairan bening serta harum, namun bagi kakek dan nenek tidaklah menjadi penyesalan karena disadarinya bahwa kejadian ini sudah menjadi kehendak yang kuasa.
Namun timbul kemudian niatnya untuk menanamnya kembali, dan butir-butir buah tadi ditanamnya kembali sekitar pusara Dewi Sri. Keajaibannya pun terjadi kembali karena dengan seketika itu pula butir-butir tadi tumbuh dan sudah berbuah kuning pula. Kakek dan nenek langsung menebasnya dan seketika itu pulalah ditaburkannya butir-butir kuning itu demikian terus kejadian itu terulang sehingga terkumpullah ikatan butir-butir buah kuning banyak sekali.
Atas kejadian ini kakek dan nenek menjadi bingung karenanya, memperoleh hasil sangat berlimpah dalam waktu sekejap. Dari asal buah setangkai. Lagi pula apa yang mereka miliki belum tahu apa dan buah apa gerangan terlebih namanya pun belum ada.
Demikian, karena kakek dan nenek dalam kebingungan bahkan belum mendapat keputusan untuk memberinya nama. Sehingga tiba-tiba nenek mengusulkan bahwa berhubung kakek dan nenek selalu bingung tidak bisa ada keputusan dan sukar untuk memilih, yang dalam bahasa Sunda disebut “paparelean”, maka disebutlah buah itu dengan nama “Pare” (padi).
Demikian lah akhir cerita ini. Hingga sekarang di tatar Sunda yang dimaksud sebagai Nagara Buana Panca Tengah, hingga kini tumbuhan serta buahnya yang dimaksud disebut “PARE”, yang merupakan cita-cita Dewi Sri Pohaci Long Kancana untuk kelengkapan hidup yang disebut “CIHAYA”. Karenanya orang-orang selalu menyebut Dewi Padi adalah Dewi Sri.