Topeng
Manis Caleg didepan Publik
Mendekati perhelatan politik 2014, ruang publik
kembali ramai dihiasi hingar
bingar atribut aktor
politik yang siap bersaing merebut
jatah kursi kehormatan. Persaingan itu terbaca ketika
atribut politik mulai
tersebar di
jalan-jalan utama bahkan sampai ke lorong-lorong rumah warga.
Mereka
bahkan tidak
canggung melakukan konsolidasi sampai ke daerah-daerah terpencil. Ruang
tatap muka di-setting sedemikian rupa
agar terkesan ramah dan merakyat.
Hasilnya, di
berbagai media sosial terpampang potret caleg yang dikelilingi rakyatnya, tersirat sosok
ketokohan yang sungguh merakyat.
Lebih menarik lagi kalau kita membidik pencitraan caleg dari
sudut media sosial. Group dan fun pages di facebook ramai diisi iklan politik dengan
berseliwuran janji dan komitmen caleg.
Misalnya group mendukung ‘orang ini dan itu’ lengkap dengan gagasan dan
komitmen kerjanya.
Hemat aku cah
asli
Mblora, fenomena ini
menjadi sangat wajar sebab untuk mencapai kuota suara, membutuhkan sosialisasi sesering mungkin biar elektabilitasnya
melangit.
Perubahan pola kampanye ini
akhirnya memaksa caleg yang sebelumnya gaptek media sosial, menjadi
sering nimbrung bahkan ‘sakau’ dengan facebook dan twitter.
Dari
sebelumnya jarang ke salon, sekarang lebih narsis dengan gaya dan mode baru
yang telah diformat sedemikian rupa biar terkesan ganteng dan cantik.
Dari
sebelumnya duduk dalam ruang bersofa dan
ber-AC, sekarang terpaksa mengangkat kaki, menembus angin dan menantang
hujan. Yang sebelumnya jarang senyum, sekarang dibalik kaca mobil yang dibuka
lebar atau saat
berjalan, terpampang sesimpul senyum manis nan menggoda alias ‘senyum caleg’.
Inilah topeng yang harus mereka
perankan dengan senyum manis didepan publik
Hasilnya, di dunia maya dan
media massa, foto-foto laki-laki berjas, berkumis, berjanggut, berkerudung,
berambut lurus, ramai menghiasi jalan-jalan bahkan di kancah facebook, dikirim
di dinding sahabat, teman jauh, keluarga hingga tetangga, juga lengkap dengan
permintaan dukungan dan doa restu.
Memang sangat berbeda dari
hari-hari biasa di saat ada sebagian dari mereka tiba-tiba ramah dan murah
senyum seperti terpampang di foto-foto baliho dan dunia maya tadi. Di
jalan-jalan juga mereka senyum dan menegur semua orang dengan ramah. Mereka
yang bermobil menurunkan kaca serendah mungkin, lalu melempar senyum
selebar-lebarnya.
“Pasar Senyum”
Aneh rasanya ketika
tiba-tiba menjelang hajatan politik, ruang publik kita ramai berseliwuran
pameran senyum para caleg.
Saya membayangkan ruang
publik sekarang ibarat pasar senyum sehingga pemilik senyum juga haruslah yang
terbaik biar laku. Senyum adalah kemerdekaan, sebuah produk alami yang dapat
dijual tanpa memiliki modal. Pertanyaan selanjutnya pun akhirnya nimbrung dalam
jagat pikiran saya. Ada apa dengan senyum sehingga menjadi keharusan bagi
seorang caleg?
Pada
dasarnya, senyum merupakan suatu bentuk ekspresi jiwa yang lugu dengan
kepolosan jiwa. Senyum itu
merintis tawaran, senyum itu menggalang perasaan, senyum itu membangun ikatan.
Senyum itu
juga bisa menyulap sebagai cahaya yang dapat
mencairkan kembali gairah hidup yang nyaris beku.
Misteri
senyuman juga
pernah meramaikan perhatian publik seperti misteri senyuman Monalisa karya
Leonardo da Vinci atau senyuman misterius ala Soeharto yang sukar ditebak.
Kilasan ini sebenarnya mau menggambarkan betapa
senyuman bisa dapat bermakna positif ketika senyum sebagai jendela jiwa dan
bermakna negatif ketika direkayasa alias senyum palsu. Bisa jadi karena alasan
yang sama pula Khalil Gibran menegaskan senyuman dalam goresan penanya,
“ seulas senyum menjadi sebuah tanda
kebahagiaan dalam kewujudan. Aku merasa lebih baik jika aku mati dalam hasrat
dan kerinduan dari pada aku hidup menjemukan dan putus asa”.
Dari pojok ilmu komunikasi,
senyum merupakan suatu bentuk komunikasi nonverbal yang berisi pesan dan
disebarkan secara langsung maupun lewat perantara (channel) serta ditujukan
kepada target (audiens).
Komunikasi nonverbal
memiliki maksud dan tujuan yakni mempengaruhi konsep dan aksi dari audiensnya.
Maka, menilai senyuman caleg juga tidak terlepas dari maksud dan tujuan yang
ingin dicapainya.
Sebagai simbol, senyum dapat
diartikan bermacam-macam karena maknanya bukan terletak pada senyum tersebut
tetapi dalam konsep penerima senyum. Jika salah meramu senyuman maka maknanya
bisa kabur dari yang diharapkan.
Untuk mengulas makna
senyuman yang multitafsir dalam berbagai latar sudut pandang, tidak cukup untuk
diringkas semuanya dalam tulisan ini. Yang jelas, kekuatan senyum ini dipakai
sebagai senjata ampuh untuk meraup suara.
Namun ada suatu paradoks
yang dikemukakan Gibran dalam puisinya yang berjudul ‘seulas senyum dan setetes
air mata’.
Karena sastra bersifat multiinterpreted, maka tidak ada
salahnya jika paradoks dalam kutipan di atas disandingkan dengan fenomena
menjamurnya senyum caleg sekarang ini ditengah ratapan kedukaan rakyat.
Hemat saya, di tahun politik ini kehadiran fisik
caleg dengan mengumbar senyuman di tengah rakyat harus menjadi simbol
keberpihakan kebijakan yang pro-rakyat bukan hanya mencari sensasi dan
pencitraan.
Jangan sampai senyum itu
hanya sebatas kamuflase politik untuk absentnya aktor politik dalam persoalan rakyat. Rakyat lebih membutuhkan
seorang elit yang cerdas meramu kebijakan populis ketimbang berpose ria di atas
kesengsaraan rakyat sembari melemparkan janji berbisa.
Makna
Fenomena caleg yang
mengumbar senyum baik secara langsung maupun lewat atribut kampanye dan media
massa pun menjadi urgent dibongkar.
Jangan sampai massa rakyat tertipu dalam buaian senyum maut ala caleg-caleg
ini.
Harus diakui bahwa senyum
caleg adalah senyum harapan. Setiap calon legislatif entah kaya maupun miskin
secara finansial pasti punya ambisi besar agar bisa mendapatkan jatah kursi
kehormatan.
Orientasinya bisa karena
idealisme membangun atau menambah tumpukan modal sebanyak-banyaknya
(mumpungisme).
Harapan itu tertuang jelas
dalam setiap senyuman yang terpampang dari raut muka seorang caleg. Ekspresi
harapan itu dituangkan dalam bentuk senyum ketika bertemu dengan konstituen di
dapilnya. Bias dari senyum harapan itu bisa berupa kekayaan, prestise, jabatan
dan kekuasaan.
Selain itu, senyum spekulasi. Seorang caleg bisa
saja mengumbar senyuman dengan maksud mengira-ngira, apakah audiensnya memaknai
secara positif atau negatif yang penting senyum dulu.
Senyum jenis ini biasanya
dilakoni oleh caleg bermasalah. Seorang caleg bermasalah tentunya punya
ketakutan jangan sampai masalahnya sudah
diketahui publik. Jika belum diketahui maka feedbacknya
positif, tetapi jika sudah diketahui maka bisa saja audiensnya membalas
senyuman tetapi dalam hati ingatanya tertuju pada masalah caleg tersebut.
Akibatnya, audiens tidak
memilih caleg tersebut. Untuk konteks ini, senyum caleg justru menjadi
kontraproduktif dan senyum itu menjadi tidak tulus alias senyum ragu-ragu.
Ada juga senyum tipikal lips service dan narsis. Tipikal dari senyuman ini sebenarnya lebih vulgar sarat
kepentingan. Dalam pendekatan political
marketing, seorang caleg dikemas secara baik biar laku dipasaran pemilih.
Di sini berlaku hukum
pencitraan biar derajatnya melejit dan mencuat. Senyuman ini memang sengaja di-design agar menarik perhatian biar
akhirnya terpilih.
Tidak heran dalam masyarakat
kita sering menentukan pilihannya dari penampilan aktris politik di panggung
maupun lewat poster dan baliho. Kegantengan dan kecantikan memiliki magnet
tersendiri dalam pilihan politik. Untuk
konteks ini, senyuman caleg tidak lebih dari jasa layanan publik yang siap
dipasarkan.
Tulisan ini akhirnya sampai
pada kesimpulan bahwa dalam dunia politik, senyuman menjadi modal utama agar
mendapat kesan baik di mata pemilih.
Senyum politik dan politik
senyum menjadi dua simpul yang tidak dipisahkan. Pemilih sering kali terkecoh
oleh sensasi politik senyum karena hanya mampu melihat ‘yang terlihat’ dalam
gambar maupun nyata.
Fenomena ini juga
menggambarkan kegagalan masyarakat dalam menilai realitas sekaligus penegasan
bahwa realitas buatan sudah mengalakan
realitas sesungguhnya (hiperrealitas).
Kita lebih mempercayai
sesuatu yang dibuat-buat dalam trik periklanan dibanding melihat realitas dunia
politik dengan aktornya yang terjerumus dalam lubang hitam kenikmatan politik
namun absen dalam membangun masyarakat.
Topeng senyum caleg
sekiranya dapat menjadi senyum inspirasi dan harapan baru di tengah situasi
ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga DPR sekarang ini.
Topeng-topeng Caleg dengan senyum politik yang sekarang
bertebaran di berbagai ruang publik, harus disertai dengan usaha dan komitmen
menuju bonum commune sebagai
cita-cita mulia politik itu sendiri.#